Kamis, 24 November 2011

Bagaimana Supaya Anak Mau Bertanggung Jawab Saat Meminjam


oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 21 November 2011 jam 7:17
Oleh:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari 
Ayah dari 4 orang anak
Direktur Auladi Parenting School 
www.auladi.org | Email: inspirasipspa@yahoo.com 

Berinteraksi dengan puluhan ribu orangtua di Indonesia dan di mancanegara semakin banyak memberikan inspirasi dan ilmu lebih banyak lagi. Meski sebagian masalah atau tantangan orangtua itu spesifik, ada juga yang sebenarnya satu dan lainnya mirip.  Misalnya tentang pertanyaan orangtua berikut: "Abah, sy mau ikutan nanya, kalau ada anak yang suka pinjam brg orang lain, kemudian malas mengembalikannya, itu bagaimana ya? Sudah dicoba diberitahu baik-baik gak mempan, gak mau balikin. dikerasin sama juga keukeuh, diancam jg susah sekali. apa ini semacam penyakit? sbg orangtua harus bagaimana bah? Anak saya sudah kelas 3 SMP, perempuan."

Kejadian ini sangat mungkin terjadi pada anak lain bukan? Kalimat "mulai dari yang lembut sampai keras" juga sering saya dengar dari curhat pada orangtua. Ok this my respon: 

Tunjukkan bahwa perbuatannya tidak disukai dan tolak perbuatannya tersebut agar anak tahu bahwa perbuatan seperti itu tidak dibenarkan sehingga dia harus memperbaiki perilakunya. 

Saat anak berbuat buruk, lagi-lagi, abah akan terus mengatakannya: berikan penjelasan secukupnya, gak usah panjang kali lebar kali tinggi.  Pada saat anak melakukannya pertam akali, boleh diberikan penjelasan. Tapi saat berulang, harus diberikan tindakan. 

Bukan diberikan kekerasan, tapi diberikan ketegasan.  Kalimat "dikerasin juga sama kekekuh" itu sayangnya tidak dijelaskan dikerasin bagaimana? Dipukul, dicubit, diancam, dibentak, diomongin keras? Atau bagaimana?

Ketahuilah itu semua tidak efektif. Tindakan kekerasan hanya berujung pada perlawanan anak dan sangat tidak efektif untuk mengarahkan anak pada kebaikan. Sekali lagi yang dibutuhkan adalah ketegasan-ketegasan tindakan. 

Caranya? Berikan dia semacam sanksi sosial, jika anak kita yang melakukan perbuatan meminjam dan sering tidak dikembalikan, maka ajak negoisasi teman anak yang  barangnya dipinjam. Minta bantuannya dan katakan bahwa itu demi kebaikan anak kita sendiri. seperti "Katakan sama Anis (andaikan namanya anis) kamu tidak akan dulu diberikan pinjam klo belum bisa dipercaya sama aku. karena yang kemarin belum juga dikembalikkan. Jika meminjam maka kamu harus bertanggung jawab untuk mengembalikan. Jika kamu tidak mengembalikannya, berarti kamu belum bisa aku percaya. Dan jika kamu belum bisa dipercaya maka kamu tidak akan bisa mendapatkan barang pinjaman apapun lagi dari aku" 

Jika yang sering tidak mengembalikan barang anak lain kepada anak kita, tinggal dibalik anak kita yang harus dilatih bertindak tegas "kamu boleh meminjam barang kepada ku tapi jika kamu bisa dipercaya lagi. Karena kamu belum mengembalikan barang yang kamu pinjam dulu, maka kamu belum bisa aku percaya. karena itu aku takkan akan lagi meminjamkan lagi barang apapun kepadamu, sampai kamu bertanggung jawab dengan barang yang kamu pinjam kemarin."

Sebagai tambahan, jika kita adalah orangtua dari anak yang sering meminjam barang yang jarang dikembalikan kita bisa mem-push-nya dengan cara melakukan melatihnya bertanggung jawab. "Setiap satu kebebasan kamu akan mendapatkan satu tanggung jawab dan jika kamu tidak bisa memenuhi tanggung jawab kamu maka kebebasan kamu akan mama cabut. Saat kamu meminjam maka kamu punya tanggung jawab untuk mengembalikannya. Meskipun itu barang teman kamu bukan barang mama atau papa. 

Karena itu kamu harus mengembalikan barang yang kamu pinjam." lalu berikan deadline sampai kapan dia harus mengembalikan itu. Sebaiknya anak sendiri yang memberikan deadlina jika dia tidak menanggapi atau menolak untuk memberikan deadline boleh orangtua yang memberikan deadline. 

"Sekarang, silahkan kamu sendiri yang tentukan, kapan dan tanggap berapa kamu akan mengembalikan barang temanmu itu? Boleh kamu yang menentukan dan jika kamu tidak mau menentukan batasnya, maka mama/papa yang akan menentukan batasnya. Dan jika sampai batas yang ditentukan kamu belum mengembalikannya, itu menunjukkan bahwa kamu belum bisa dipercaya dan karena itu sampai kamu mengembalikannya, maka kebebasan kamu untuk menggunakan uang saku kamu terpaksa mama cabut sementara". 

Anak akan protes, ngambek, marah? Posibble! But parents should be consistent with this! 

Mengajarkan Anak Sensitif Berbagi


oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 23 November 2011 jam 7:50
Mengajarkan Anak Sensitif Berbagi

Oleh:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
Ayah dari 4 orang anak
@ inspirasipspa@yahoo.com | www.auladi.org

Anak balita tak mau berbagi ? Itu wajar. Apalagi anak batita. Setelah merasa lebih ‘merdeka’ daripada bayi, ia tengah belajar bahwa ia adalah individu yang terpisah dari orang dewasa, bahwa ia memiliki keinginan dan ‘aku’ berdiri sendiri.

Saya sering mendengar sebagian orangtua berkata semacam ini pada saya “Abah, bagaimana dengan anak saya (3 tahun) kalau ada yang main ke rumah dia bilang nggak boleh suruh pulang aja mbak/mas nya. Begitu dengan pas lebaran kemarin ke tempat neneknya, ada anak lain yang main nggak boleh juga. Terus masalah makanan dan minuman, bunda dan ayahnya juga nggak boleh minta, apalagi orang lain, saya bingung ngasih taunya bagaimana?”

Anak ini sebenarnya baru pada tahap belajar bahwa barang itu milik aku. Mengajarkan berbagi adalah kewajiban orangtua. Tetapi, sebelum mengajarkan berbagi, orangtua juga harus mengajarkan tentang konsep kepemilikan.

Jika barang itu miliki orang lain, maka secara konsisten orangtua harus mengajarkan bahwa dia tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa izin apalagi memaksa untuk meminjam atau mengambil barang orang lain. Demikian juga jika ada anak lain memaksa untuk mengambil anak kita, kita katakan pada anak lain “kamu boleh pinjam, tapi minta izin dulu ya”. Dan apapun yang terjadi dengan anak tadi: nangis, teriak. Kita harus secara konsisten (tegas) menerapkan hal ini terlebih dahulu sebelu mengajarkan berbagi pada anak.

Demikian juga dengan barang saudaranya, adik atau kakaknya. Jika kelak dia punya saudara dan masing-masing anak punya barang miliki sendiri seperti mainan, makanan atau lain-lain. Ajarkan anak kita untuk tidak mengambil barang sudaranya tanpa izin. Tidak mengambil mainan atau makanan saudaranya tanpa izin. 

Dan saat abah menerapkannya pada keempat anak saya, alhamdulillah, biidznillah, meski disimpan di tempat meja makan atau di freezer, jika ada makanan yang bukan miliknya, tidak ada satupun anak berani mengambil tanpa meminta izin si pemilik barang.  Si kakak tidak berani mengambil barang atau mainan yang dimiliki adiknya tanpa izin dan si adik pun tidak berani mengambil barang kakaknya tanpa izin. Jika ini diterapkan di rumah kita secara konsisten, dampaknya akan baik untuk anak di masa depan. Barang saudaranya saja dia tidak berani ambil, apalagi barang orang lain bukan?

Mengajarkan konsep kepemilikian berarti juga kita, orangtua harus secara konsisten tidak boleh memaksa anak memberikan barang yang dia miliki untuk di-share atau dibagi pada orang lain.

Akan tetapi, orangtua juga harus menyeimbangkannya dengan mengajarkan berbagi.  Mengajarkan berbagi setelah mengajarkan konsep kepemilikan adalah wajib.  Jika mengajarkan konsep kepemilikan tanpa disertai dengan mengajarkan berbagi maka anak ini akan menjadi anak-anak yang egois, anak-anak yang seenaknya, anak-anak yang tidak sensitif terhadap situasi sekitarnya.

Bagaimana cara mengajarkan berbagi.
Ada tiga tahap untuk mengajarkannya: CERITAKAN, LIBATKAN DAN BERIKAN DORONGAN.  

Pertama adalah tahap BERCERITA. Maksudnya ceritakan tentang apa itu BERBAGI? Bercerita dengan maksud kita mengenalkan konsep berbagi dan apa itu berbagi. Cara yang paling mudah adalah dengan sering menceritakan sebuah buku atau cerita/dongeng/kisah  yang mengajarkan anak berbagi. Sehingga anak tahu bahwa berbagi itu lebih disukai. Cerita tentang Rasulullah yang sering menyuapi pengemis tua di pasar padahal pengemis itu sering memaki-maki Rasulullah adalah salah satu cerita ‘wajib’ yang bisa diceritakan kepada anak.

Bercerita untuk mengajarkan berbagi tidak berarti harus terus melalui buku, mengajak anak ke tempat-tempat dengan kondisi lingkungan ekonomi terbatas seperti daerah pemulung, gang-gang kecil, tempat yatim piatu, juga adalah cara baik untuk melatih sensitifitas anak.

Atau saat orangtua  bersama anak di lampu merah melihat seorang anak kecil mengamen atau mengemis, kita bisa menjadikannya sebagai bahan BERCERITA. “Kamu tahu, kenapa dia melakukan itu? “ Dan seterusnya ini bisa menjadi bahan renungan anak. Bukan berarti setelah itu anak harus berbagi kepada anak-anak di lampu merah tadi.  Berbagi bisa dilakukan di tempat selain itu, di tempat yang lebih produktif untuk berbagi atau yang lebih baik untuk berbagi.

Menceritakan berbagi berarti juga memprogram pikiran anak untuk tahu tentang berbagi. Anak-anak batita pada awalnya belum bisa mengetahui tentang nilai baik dan buruk karena itu tugas kita orangtualah yang mengenalkan apa itu baik dan buruk. Nilai-nilai itu bisa kita tanamkan melalui bercerita tadi salah satunya. 

Tahap kedua adalah tahap LIBATKAN. Maksudnya,t idak sekadar memberikan contoh kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari bahwa kita juga sering berbagi, tetapi lebih dari itu saat kita melakukan aktivitas charity tersebut, libatkan anak untuk melakukannya pula.

 Misalnya saat anak melakukan apa yang diajarkan suunnah Rasulullah tentang memberi hadiah pada tetangga libatkan anak dalam menentukan hadiah apa yang bisa diberikan untuk tetangga tersebut. Kebiasaan ini bisa dilakuan sepekan sekali, dua sepekan sekali, tiga pekan sekali atau sebulan sekali menyesuaikan besaran budget yang kita sediakan. 

Di keluarga kami, sesekali berbagi dengan tetangga itu biasanya berbentuk kue, buah-buahan atau makanan yang praktis bisa langsung di santap, bisa buat sendiri bisa juga dengan  membeli.  Mohon maaf jangan berfokus tentang bahwa saya sudah pameran berbagi, bukan, tolong jangan kesitu, tapi fokuslah pada maksud saya yang ingin sekadar menampilkan contoh metode melibatkan anak dalam berbagi.

“Pekan ini kita akan berbagi hadiah dengan Pak Didin, pekan depan dengan keluarga Pak Agus, pekan ketiga dengan Pak wawan dan pekan keempat dengan keluarga Pak Nanang.  Menurut kalian, untuk keluarga Pak Didin diberikan hadiah apa ya? Kalau untuk lainnya apa?”

Setelah anak-anak memberikan usulan, salah satu usulah anak itu bisa direalisasikan sepanjang rasional. Dan kemudian usulan dari satu anak dipakai bergantian. Pekan ini misalnya usulan dari anak yang pertama yang akan dipakai, pekan kedua dari anak kedua dst. Jika anaknya hanya ada dua ya bergantian seterusnya. Jika ada anaknya masih satu ya bergantian dengan orangtuanya.

Setiap anak yang diterima usulannya boleh dipercaya juga untuk diberikan kewenangan memberikan hadiah tersebut pada tetangga. Prinsip “man usul, huwa mas’ul”, barangsiapa yang mengusulkan maka dia yang berwenang, boleh-boleh saja diterapkan di sini. Asal anak dibuat senang untuk melakukannya.  Dan Sepanjang pengalaman kami melakukan ini, insya Allah anak-anak sangat senang dilibatkan dalam kegiatan berbagi ini. Malah, mereka berebutan untuk menjadi yang berwenang memberikan hadiah tersebut. Apalagi dalam keluarga yang dibagi tersebut ada  ‘komplotan’ anak kita yang sebaya.

Tahap  ketiga adalah tahap DORONGAN.  Berikan semacam penolakan (bukan paksaan) saat anak bermain bersama tapi anak tak mau berbagi. Contoh, ayah punya kue lalu anak minta. Kemudian ayah berkata "ayah tak mau berbagi sama adik, ayah mau baginya sama kakak dan mama, soalnya adik kemarin tak mau berbagi".  

Biarkan sesekali anak merasa kecewa dan menangis diperlakukan seperti itu karena anak akan belajar bahwa oh ternyata perbuatan seperti itu tidak disenangi dan insya Allah jika orangtua terus melakukannya lagi dan lagi maka anak belajar bahwa seharusnya aku pun tidak seperti itu. Dan berikan contoh ini terus menerus insya Allah anak akan tau bahwa berbagi itu lebih disukai. Tidak langsung membuat anak jadi bisa berbagi, tetapi semakin sering dilakukan anak semakin tahu bahwa berbagi itu lebih disukai. (www.auladi.org)

Berantem Itu Baik!


oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 16 Juni 2010 jam 19:42
Berantem Itu Baik!

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | www.auladi.org
Email: inspirasipspa@yahoo.com



Ayah, Bunda, suatu saat beberapa orangtua menghampiri saya dan seorang diantaranya mengatakan “Abah, saya masih belum bisa menghentikkan anak berantem. Aduhh hampir tiap hari itu kakak-adik berantem melulu! Bagaimana mengatasinya, saya pusing melihatnya tiap hari seperti itu.” Lalu seorang ibu lain menimpali disebelahnya “Sama anak saya juga seperti itu. Kenapa sih anak-anak ini rajin banget berantem!”

Lalu saya katakan kepada mereka ada beberapa hal yang dapat mereka lakukan agar mereka tidak pusing. “Pertama, ucapkan kalimat ‘alhamdulillah!’ saat mereka berantem dan jangan ‘astaghfirullah’. Kedua, bersahabatlah dengan berantem, jangan musuhi berantem karena berantem itu baik.”

“Nah lho?!”, bengong tuh parents....

Lalu saya balik bertanya pada mereka, “adakah anak yang memiliki saudara di rumah yang bebas dari berantem alias tidak pernah berantem?” Sebagian besar menggeleng, tapi seorang ibu mengangkat tangan “Anak-anak saya tak pernah berantem tuh! Tak pernah pukul-pukullan!”

“Mereka pernah marahan kan? Mereka pernah berbeda pendapat kan? Mereka pernah rebutan mainan kan?” tanya saya.

“Oh iya ya”.

“Berantem itu memang ‘wajib’ pukul-pukullan, tidak kan bu?”

“Wah kalau begitu memang semua anak berarti pernah berantem ya Bah....”

***

Ayah, Bunda, hampir semua anak yang memiliki saudara pasti pernah merasakan konflik. Konflik yang sering disebut dengan ‘bahasa pasar’ berantem ini bentuk bisa macam-macam, ada yang hanya berbeda pendapat, rebutan barang/makanan/mainan, hingga ada yang melibatkan fisik. Jika hampir tidak ada satu pun anak yang bebas dari pengalaman berantem, bukankah berarti berantem itu seperti sengaja diciptakan Tuhan untuk tujuan baik?

Ya, saya ingin mengatakan kepada semua orang, awalnya konflik itu bagi anak adalah baik! Hal yang semua anak akan mengalaminya. Sehebat apapun orangtua mendidik anak, orangtua tidak bisa menghindarkan anaknya dari konflik. Konflik bagi orang dewasa tidaklah terlalu baik, tapi bagi anak, terutama anak-anak usia 12 tahun ke bawah konflik adalah kebutuhan! Bahkan, seorang pakar tumbuh kembang menganggap anak yang tak pernah bertengkar justru tidak normal! Nah, karena sebuah kebutuhan, pengalaman konflik pada anak-anak akan terus berulang. Meski sebagian orangtua tidak menyukainya dan meski orangtua ‘ratusan kali’ mengatakan ‘jangan berantem terus deh, berantem itu tidak baik!’

Betapa tidak dibutuhkan, dari satu pengalaman hidup di masa kecil inilah anak-anak akan (seharusnya) mendapatkan bekal untuk menghadapi konflik hidup di masa depan. Tidak ada satu manusia pun setelah dewasa yang bebas dari konflik bukan? Karena itu, konflik pada anak seperti sengaja diciptakan Tuhan agar anak-anak kita dapat belajar bagaimana mereka kelak mengelola konflik di masa depan. Seperti seorang anak harimau atau kucing, yang saat mereka masih kecil sering terlihat bermain-main cakar-cakaran, konflik di masa kanak-kanak adalah ajang latihan bagi anak menghadapi konflik di masa depan. Ada banyak dari kita yang memiliki kompetensi hebat di bidang pekerjaan yang kita geluti, tapi karena tidak bisa menghadapi konflik membuat kita menjadi tak nyaman berlama-lama di tempat kerja.

Setiap adik-kakak pasti akan bertengkar. Bahkan adik-kakak 700 persen kali lebih sering bertengkar ketimbang dengan teman sebayanya masing-masing. Karena, mereka tahu, bahwa adik atau kakaknya akan selalu ada, tidak akan pergi. Menurut studi, adik-kakak yang bermain bersama, meski saling mengejek, memiliki hubungan yang lebih dekat ketimbang adik-kakak yang bermain terpisah.Istilahnya Adik-kakak lebih baik berisik karena bertengkar ketimbang damai tapi berpisah. Berpisah dalam artian saling tak mau menyapa dan bergaul karena satu membenci yang lain.

Konflik pada awalnya adalah baik bagi anak. Konflik berubah menjadi tidak baik saat orangtua tidak mengelola konflik anak dengan baik. Apalagi jika saat konflik, orangtua yang selalu menyelesaikan masalah. Akhirnya, anak tidak belajar apapun dari pengalaman konflik yang mereka alami. Saat misalnya seorang adik rebutan mainan dengan kakaknya, sebagian orangtua menyelesaikannya dengan mengatakan pada si kakak “Kakak, ngalah dong sama adik! Adik kan masih kecil....”

Ayah, Bunda, jika penyelesaiannya seperti itu, lihatlah ternyata bukan hanya kita tak melatih anak menghadapi konflik, tapi justru kita melebarkan konflik pada anak. Lihatlah, ternyata praktik ketidakadillan juga dapat dimulai dari rumah bukan? Mengapa seorang kakak harus selalu mengalah pada adik? Adikknya masih lemah, begitu alasannya? Tapi, sampai umur berapa adik masih terus dibela? Mengapa kebenaran ditentukan oleh usia? Mengapa jika kakak membuat adik kecewa, dihukum? Mengapa jika adik yang melakukannya, adik tidak dihukum?

Saat dua orang anak rebutan satu buah roti misalnya, sebagian orangtua menyelesaikannya dengan jalan instan dengan cara membagi roti itu jadi dua untuk anaknya “yang ini buat kakak yang itu buat adik”. Lihatlah praktik ini? Anak memang berhenti dari konflik (sementara), tapi siapa yang menyelesaikan masalahnya? Orangtua bukan? Mengapakah bukan anak yang dilatih untuk menyelesaikan masalahnya sendiri?

Atau solusi lain yang sering dilakukan orangtua adalah selalu membelikan yang sama untuk semua anak, supaya tak rebutan! Jika anaknya dua, maka kuenya selalu dua dengan rasa yang sama. Jika anaknya laki-laki dua-duanya, maka saat beli mainan mobil-mobilan, dibelilah mobil dengan model yang sama.

Jika solusinya seperti ini, sepintas ayah ibu melihat ini sebagai solusi. Tapi sebetulnya secara jangka panjang, efeknya anak jadi sulit menemukan identitas diri, karena dia bingung membedakan antara dirinya dengan saudara kandungnya.

Ayah, Bunda, yuk bantu anak kita mengelola konflik dengan baik. Konflik adalah sarana yang diciptakan Allah untuk anak belajar, belajar mengelola kehidupan. Yuk, bimbing mereka mengelola konflik.

1.Bersahabat dengan konflik

Hal yang pertama kali harus Ayah dan Bunda fahami, konflik itu tidak bisa dihindari. Sekuat apapun kita berusaha, konflik itu akan hadir menghiasi kehidupan anak kita. Meski kita tidak menyukai dan mungkin anak kita pun bahkan juga tidak menyukainya, konflik pada anak-anak kita akan terus berulang. Wajar, karena manusia diciptakan Allah berbeda-beda karena itu akan terjadi perbedaaan keinginan, perbedaan pemahaman, perbedaan cara bersikap dan berperilaku. Perbedaan-perbedaan itu normal, sepanjang diekspresikkan dengan cara yang baik dan tidak merugikan siapapun.

Karena itu, saya mengajak Ayah Bunda semua, yuk bersahabat dengan konflik, bukan memusuhi konflik. Semakin Ayah Bunda musuhi, maka semakin lelah dan pusinglah pikiran saat melihat anak-anak kita berkonflik. Maka, coba rubahlah perspesi Anda tentang konflik. Meski pikiran masih belum menerima, coba bantu tenangkan pikiran Anda dengan ucapkan kalimat ‘segala puji bagi Allah’ saat Anda melihat fenomena anak-anak tengah konflik.

Semakin sering pikiran dan cara berpikir Anda dilatih dari sisi positif, memberikan persepsi positif atas sebuah peristiwa, termasuk konflik, semakin rileks Anda menghadapi anak-anak saat mereka tengah konflik.

2.Libatkan Anak

Saat anak terlibat konflik dengan saudaranya, sah-sah saja Anda terlibat. Tetapi, sebaik-baiknya penyelesaian adalah yang melibatkan anak itu sendiri. Jika mungkin, orangtua hanya jadi fasilitator yang bertugas untuk membimbing anak untuk mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Saat anak dilatih untuk menyelesaikan sendiri masalah yang ia hadapi, sejak saat itulah anak-anak memiliki modal untuk menghadapi masalah-masalah yang lebih kompleks di masa depan.

Saat anak terlibat adu mulut mengenai siapa yang berhak untuk duduk di kursi depan mobil misalnya, padahal kursi depan mobil dekat supir itu hanya tersedia untuk satu orang, tak usah terburu-buru menghentikkan konflik anak dengan kalimat-kalimat solutif dari Anda: “sudah kalau tak ada yang mau ngalah, nggak usah ada yang ikut!” atau lagi-lagi dengan kalimat kuno “kakak, ngalah dong sama adik!”. Tapi mari kita kembangkan kalimat-kalimat yang membuat pikiran dan ide anak terlibat “kursi di depan hanya satu, gimana caranya biar semua kebagian, ayoo siapa yang mau kasih ide ka ayah?!” Jika anak berkeras dan bertegang untuk tetap ribut barulah kita bisa beri penekanan dengan kalimat “kalian harus putuskan dulu siapa yang di depan karena jika tidak kita belum bisa berangkat!” atau kalimat-kalimat lain yang senada.

Jika anak rebutan sepotong roti padahal rotinya hanya satu, maka Anda dapat katakan pada mereka “Rotinya cuma satu, ayoo cari ide, bagaimana agar semuanya kebagian!” inilah metode yang melibatkan anak (otoritatif). Sedangkan metode lainnya adalah metode yang mengedepankan kekuasaan (otoriter) orangtua untuk menyelesaikan masalah anak “Rotinya cuma satu, sini mama bagi... ini buat adik dan ini buat kakak” atau yang lebih parah “Kalau kalian tak mau berbagi, sini rotinya mama makan!”

Metode otoritatif memerlukan sedikit waktu dari Anda untuk bersabar memberi kesempatan anak menyelesaikan masalah, tetapi secara jangka panjang memudahkan orangtua sendiri karena tidak harus selalu mengatur dan menyelesaikan semua masalah anak. Sedangkan metode otoriter mungkin dapat menyelesaikan konflik anak lebih cepat tetapi secara jangka panjang justru menumpulkan kekuatan pikiran anak dan akhirnya merepotkan orangtua sendiri karena orangtua harus selalu yang menyelesaikan terlalu banyak masalah anak yang bahkan pada hal sepele sekalipun.

Saat Anda memiliki dua anak, tidak harus dibelikan mainan dengan model yang sama atau makanan dengan rasa yang sama, biarkan anak memilih sesuai dengan selera mereka sendiri sepanjang dalam batas budget orangtua dan toleransi orangtua. Yang terbaik, kalau mau membelikan dua barang, biarlah anak masing-masing memilih yang dia sukai. Contohnya, kalau mau beli kaus, si kakak mau beli kaus biru, maka adik boleh cari warna lain, jika sama boleh-boleh saja, tetapi kalau bisa berbeda dari kakak. Kalau beli mainan, mungkin si adik memilih bola, sementara kakak diminta cari mainan yang berbeda.

3.Aturan yang jelas

Anak-anak akan terus kesulitan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi terus mengulangi hal yang sama berulang-ulang karena kadang-kadang orangtua menerapkan aturan yang ‘samar-samar’ pada anak berkait dengan masalah-masalah yang biasanya dihadapi anak. Aturan itu untuk mengatasi ketidakaturan bukan? Setiap keluarga harus memiliki aturan yang jelas di rumah sesuai dengan nilai-nilai yang orangtua pegang sendiri. Minimal di rumah sendiri karena yang merepotkan jika konflik ini terjadi dengan anak lain yang bukan saudara anak kita, anak tetangga misalnya. Untuk ini mungkin ada dapat mengajak bekerjasama dulu dengan para orangtua anak-anak tempat anak Anda bergaul.

Ada beberapa aturan yang harus secara jelas menjadi aturan main di rumah kita sendiri:

a. Milik siapa?

Siapapun di rumah harus meminta izin untuk menggunakan barang/mainan kepunyaan yang lain. Jika misalnya seorang kakak menginginkan untuk memainkan sepeda adik, maka ia harus izin sama adik. Jika adik tak mengizinkan, maka orangtua wajib menegakkan. Demikian juga jika adik memakai barang kakak dan kakak ternyata tak ridlo, adik harus mengembalikannya. Orangtua harus menegakkannya! Jika adik menangis, biarkan ia menangis. Jangan sampai keadilan dikalahkan perasaan . Menangis adalah strategi wajar seorang anak, tapi jika anda konsisten, dijamin, insya Allah anak menjadi tidak gampang nangis lagi.

Cara mengembalikan sebaik-baiknya dilakukan metode yang melibatkan anak seperti yang pernah dicontohkan di atas: "Sekarang itu punya kakak, dan kakak tidak mengizinkan, kamu mau mengembalikan sendiri atau mama yang ambil dan kembalikan?" Tentu konsekuensinya berbeda. Jika anak mengembalikan sendiri maka anak misalnya tidak akan mendapatkan konsekuensi apapun, sebab perbuatan mengembalikannya sendiri sudah perbuatan baik. Tapi jika anak memilih orangtua yang mengembalikan, anak boleh diberikan konsekuensi karena dengan demikian anak tidak mau menanggung tanggung jawab atas perbuatan buruk yang telah dilakukan. Konsekuensinya bisa berupa penyitaan mainan, time out di kamar, dll Tentang jenis-jenis konsekuensi baca tulisan abah yang lain "bagaimana menghadapi perilaku anak yang keras".

Tugas orangtua selanjutnya adalah melatih siapapun di rumah itu untuk belajar berbagi. Ceritakan cerita-cerita positif tentang berbagi melalui permisalan binatang, memakai jari-jari Anda sendiri, menggunakan ballpoint, menggunakan buku, menggunakan alat-alat lain yang mengenalkan anak tentang cara berbagi. Jika anak sudah mulai beranjak dewasa ceritakan tentang kehebatan orang-orang besar di dunia yang memiliki sensitivitas berbagi dan mengasihi seperti Rasululullah Muhammad, Abu Bakar, Salahudin Al-Ayubi, Mahatma Gandhi, Bill Gates, dll.

b. Siapa yang duluan & kapan bergantian?

Tingkah anak-anak kadang bikin geli sekaligus bikin pusing orangtua. Ada saja yang mesti diributkan anak. Ada beberapa ‘inventaris’ keluarga yang sebenarnya bukan milik seseorang, alias sebenarnya milih ayah ibu atau milik semua orang di rumah, alias milik bersama, alias milik umum, diklaim oleh salah seorang anak menjadi seolah-olah menjadi miliknya. Malah kadang anak-anak ini maunya semuanya milik mereka. Duh!

Rebutan kursi meja makan, rebutan kursi di mobil, rebutan memeluk ayah, rebutan memeluk ibu, rebutan diceritakan buku sama orangtua, dan contoh lain akan banyak kita temukan. Nah jika kasus seperti ini keputusan tertinggi Anda di manajer rumah yang bertanggung jawab terhadap keutuhan dan aturan main penggunaaan barang milik umum tadi. Silahkan buat aturan tentang penggunaan ‘inventaris umum’ tadi.

Ada setidaknya dua metode yang dapat diterapkan: metode SIAPA DULUAN atau metode JADWAL BERGANTIAN. Metode mana yang mau dipilih, keputusan ada di tangan Anda. Insya Allah dua-duanya positif sepanjang dibicarakan dengan anak. Jika yang duluan di kursi depan dekan driver adalah si Kakak, maka adik tidak bisa menyerobot! Demikian juga sebaliknya, Kakak tak berhak mengusir adik karena aturannya sudah ditetapkan bukan?

Tetapi, jika Anda merasa bahwa salah satu anak ‘terlalu cerdas’ sehingga tak pernah kehilangan akal untuk ‘mengakali’ adik dan akibatnya anak yang lain selalu ‘kalah’, maka metode SIAPA DULUAN dapat anda ganti dengan metode JADWAL BERGANTIAN. Jika hari ini yang duduk di depan mobil Kakak, maka keberangkatan berikutnya selalu adik! Mengenai siapa yang dapat menggunakan duluan, silahkan serahkan pada anak untuk memutuskan.

c.Boleh intervensi, saat mulai merugikan

Orangtua boleh intervensi dan terlibat lebih dalam untuk membantu menyelesaikan konflik anak jika konflik anak tersebut sudah mengarah pada kekerasan fisik dan kekerasan verbal yang berlebihan. Saat salah seorang anak hendak memukul anak yang lain, orangtua harus memegang tangan anak sehingga ia tak jadi memukul.

d.Semua orang boleh marah, tetapi tidak menyakiti & merusak

Silahkan terapkan ‘dekrit’ ini di rumah: “Siapapun di rumah ayah dan ibu boleh marah. Adik boleh marah sama kakak, kakak juga boleh marah sama adik jika merasa dirugikan. Tetapi, semua orang di rumah ini tidak diterima untuk menyakiti dan merusak. Mendorong itu menyakiti, memukul itu menyakiti, mencubit itu menyakiti, menendang itu menyakiti, melempar saudaranya dengan sebuah benda juga menyakiti. Juga di rumah ini tidak diterima merusak barang saat marah, melembar piring, gelas, buku, dan barang apapun tidak diterima. Jika ada yang mau marah silahkan keluarkan lewat mulut, silahkan bicara. Kalau adik tidak suka dengan perlakuan kakak bilang sama kakak ‘kakak, aku tidak suka!’ atau sebaliknya.

Memang tak langsung bisa, tapi bimbing terus anak untuk mengungkap dan mengeluarkan perasaan-perasaan tidak nyamannya dengan cara yang lebih baik: lewat mulut! Jika anak-anak kita tak dilatih untuk mengeluarkan emosi-emosi negatifnya dengan cara yang baik, maka bisa jadi ia memiliki cukup tenaga untuk mengeluarkannya lewat jalan kekerasan! Latihlah terus anak untuk mengelola marahnya dengan cara yang baik (anger management).

Turunan dari ini, orangtua harus menggali dari anak untuk memilih konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan anak dapatkan jika mereka melanggarnya. Biarkan anak-anak itu yang memutuskan konsekuensi seperti apa yang mereka akan dapat agar mereka merasa rugi dengan perbuatan mereka yang merugikan.

Buat tawar menawar terhadap konsekuensi ini dengan orangtua. Jika anak mengajukan konsekeunsi yang tak sesuai, orangtua boleh tak menyetujuinya. Misalnya, saat anak memukul, anak mengajukan konsekeunsi minta maaf. Itu betul, tetapi ini sama sekali belum tepat. Karena anak akan gampang minta maaf tapi tak merasa rugi betul dengan perbuatannya yang merugikan. Orangtua juga boleh mengajukan tawaran pada anak misalnya: siapapun yang menyakiti akan diberikan konsekuensi misalnya: dikurangi uang jajan, dikurangi jam nonton tv/vcd, metode time out atau dikeluarkan dari rumah selama 10 menit atau tak boleh keluar kamar selama setengah jam seperit Nanny 911.

4.Syarat Melindungi yang Lemah

Salah satu metode yang termasuk paling sering diterapkan oleh orangtua adalah bahwa KAKAK HARUS MENGALAH SAMA ADIK. Argumen utamanya: adik masih lemah! Maka yang kuat harus melindungi yang lemah! Atau adiknya masih belum mengerti, yang sudah mengerti harus mengalah pada yang belum mengerti.

Argumen ini dapat dibenarkan tetapi harus hati-hati menerapkannya. Yang ideal adalah tetap menegakkan aturan-aturan jelas seperti di point ketiga. Tetapi jika orangtua menganggap sang adik masih terlalu lemah dan terlalu sulit untuk mengerti dan diberi penjelasan, orangtua boleh menggunakan METODE MELINDUNGI YANG LEMAH ini dengan beberapa syarat:

a.Lakukan pembatasan

Saat orangtua menerapkan metode yang kuat mengalah pada yang lemah atau yang mengerti mengalah pada yang belum mengerti, orangtua harus memberikan ‘SOP’ yang jelas sampai kapan adik masih dianggap lemah sehingga belum dapat mengendalikan keinginannya secara wajar dan sampai usia berapa adik mash dianggap belum mengerti.

Jika Anda bertanya kepada saya kira-kira kapan anak-anak tidak boleh lagi dibela, saya akan menjawabnya saat anak-anak sudah bisa membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kirinya, kira-kira usia 3-5 tahun bergantung kemajuan perkembangan mental anak. Karena ketika mereka sudah bisa membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kiri, sejak saat itulah anak-anak sudah dapat menyerap nilai-nilai dan sudah dapat membedakan mana baik dan mana yang buruk atau mana yang benar dan mana yang salah. Anda dapat mengatakan pada si Kakak “Ayah janji, nanti kalau adik sudah umur 3 tahun atau saat adik sudah bisa tau tangan kanan dan kirinya, ayah takkan bela adik lagi!”

b.Berikan reward lebih pada si Kakak yang mengalah

Pemberitahuan bahwa si adik akan dibela secara terbatas sampai usia tertentu bagi si kakak sebetulnya belumlah cukup. Karena itu, kuatkan dengan cara memberi reward lebih pada si kakak saat si kakak mau mengalah pada adik. Reward itu tidak harus selalu berbentuk materi atau hadiah berupa benda atau barang yang ia sukai. Kalimat-kalimat positif dapat orangtua keluarkan saat itu juga, di TKP, saat orangtua memergoki kakak ternyata mau mengalah sama adik. “Sini sayang... mama mau bisik-bisik... kakak hebat, kakak memang anak mama yang paling mengerti, tidak seperti adik, adik dibilangi gimana juga sama mama, aduhh pokoknya susah, belum sepintar kakak ya! Insya Allah mama takkan bela lagi adik kalau adik sudah pintar kayak kakak!”

Reward juga dapat berupa pemberitan otoritas lebih pada si kakak untuk melakukan sesuatu, yang belum dapat diberikan pada adik. Misalnya kakak dapat diberikan uang saku dan diberikan otoritas penuh untuk menggunakan uang saku itu sendiri, sementara adik belum dapat diberikan uang saku. Atau contoh lain Kakak dapat memilih VCD nya sendiri sepanjang aman dan disetujui ayah ibu sementara adik belum boleh membeli VCD. Dengan pemberian reward lebih ini, sang kakak akan merasa bahwa tidak rugi ia mengalah sama adik karena pada banyak hal lain ia justru diberikan kelebihan dan kewenangan lebih orangtuanya.


5.Fokuskan pikiran anak pada saling mencintai

Semua orang ingin anaknya saling mencintai daripada saling memusuhi. Tetapi masalahnya adalah sebagian orangtua lebih memperhatikan anak saat mereka bermusuhan daripada saat mereka saling menyayangi. Maksud saya adalah sebagian orangtua lebih banyak ngomong saat anak-anaknya berantem daripada saat anak-anaknya bermain bersama. Karena itu, fokuskan pikiran anak agar saling mencintai saudaranya antara lain dengan beberapa cara:

a.Berikan perhatian pada saat mereka bekerjasama dibandingkan saat mereka berantem

Sebagian orangtua justru memperhatikan anak dan terlalu banyak bicara pada anak saat mereka berantem ketimbang saat mereka bekerjasama. Jika seperti ini yang dilakukan secara tak sadar orangtua justru tengah memfokuskan anak untuk semakin sering berantem dibandingkan menyukai bekerjasama.

Agar anak lebih menyukai bekerjasama daripada berantem, fokuskan pikiran anak pada bekerjasama daripada pada berantem. Caranya adalah dengan banyak memperhatikan anak dan memberi komentar positif ketika mereka sedang bermain bersama tanpa bertengkar, daripada pada saat mereka berantem. Misalnya dengan mengatakan, ”Pintarnya Kakak dan Adik main bersama,” atau, ”Kalian berdua rukun sekali, Bunda senang deh.” Dan kurangi untuk memberikan terlalu banyak komentar pada saat mereka berantem dengan sering mengatakan “Aduh! Kalian ini kok senangnya berantem!”

b.Mempersiapkan mental kakak sebelum kelahiran adik

Jauh sebelum anak kedua lahir, Anda bisa melibatkan si calon kakak dengan aktivitas yang berhubungan dengan menyambut kehadiran adik barunya. Installkan informasi-informasi positif tentang enaknya punya adik, fokuskan pada kebaikan-kebaikan yang akan kakak dapatkan jika adik lahir. Bahwa akan ada teman baru untuk si kakak di keluarga kelak. Bahwa kakak bisa lebih banyak asyik lagi bermain. Bahwa si adik dapat menjadi seperti ‘boneka’ untuk si kakak. Banyak si kakak yang seperti ‘berubah’ perilakunya setelah adik lahir akibat kurangnya orangtua memersiapkan mental si kakak pada saat kelahiran adik.

c.Latih BERMUSYAWARAH

WA’TAMIRUU BAINAKUM BIMA’RUUF, dan musyawarahkanlah diantara kamu dengan baik, demikian perintah Allah kepada manusia saat menghadapi konflik seperti tercantum dalam surat ke-65: At-Tholaq ayat 6. Latihlah terus anak-anak bermusyawarah saat mereka mendapatkan perbedaan dalam sebuah masalah. Biarkan mereka mengambil keputusan atas perselisihan yang mereka buat. Tidak mudah memang, tapi semakin sering dilatih, insya Allah anak-anak kita semakin terlatih untuk bermusyawarah.

Orangtua boleh melakukan sedikit penekanan saat mereka enggan bermusyawarah saat salah satu atau semua anak kita BERSIKAP maunya menang sendiri. Metode yang dapat dilakukan misalnya, dengan mengeluarkan anak keluar rumah sementara dan mempersilahkan untuk menyelesaikan masalahnya di luar. Anak-anak baru diperbolehkan masuk ke dalam rumah jika mereka sudah mendapat keputusan bersama atas perselisihan yang mereka lakukan. Saat mereka berebut kursi di dekat driver, orangtua dapat mengatakan bahwa mobil tidak akan majukan atau tidak akan berangkat sampai mereka membuat keputusan.

*Tulisan ini dikutip dari buku best seller "Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih?" yang ditulis oleh penulis 

***

Mengajarkan Konsep Kepemilikan


oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 13 Mei 2011 jam 9:13

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | www.auladi.org
Email: inspirasipspa@yahoo.com

This is very important Mom & Dad! Swear! Mengajarkan konsep kepemilikan pada anak dari kecil sangat bemanfaat untuk buah hati Anda belajar menghargai. Jika dibiasakan, hasilnya,  kepada saudaranya saja ia tidak akan berani menggunakan barang saudaranya tanpa izin. Apa lagi barang orang lain bukan?

It’s different! Mengajarkan konsep kepemilikan tidak berarti mengajarkan anak pelit dan tidak berbagi. Ini sangat beda jauh. Mengajarkan konsep kepemilikan juga tidak mengajarkan anak untuk egois dan jadi terus berantem. It’s totally different. Mari kita mulai dengan salah satu cerita berikut ini:

“Abah, anak sulung saya 5 tahun kurang, adiknya 16 bulan. Si sulung kalo liat APAPUN yangg dipegang adiknya (makanan, buku, mainan, pokonya APAPUN) pasti direbut dengan kasar sambil bilang "punya aku!!" Ya si adik menangislah dengan hebohnya karena langsung asik di pegang tau-tau dijabel.

Kami ayah dan bundanya selalu menerapkan apapun yang ada di rumah kita adalah milik bersama jadi boleh dipakai oleh siapapun, boleh berbagi, bergantian. Tapi ya gitu deh, kejadiannya selalu terulang lagi dan lagi. Jadinya saya kelepasan agak marah sama Si kakak gara-gara ini.

Harus gimana yaa sikap saya-nya ke Si kakak maupun adik?”

Sungguh dalam konteks ini, menganggap semua barang yang juga sudah dikasi ke satu orang anak MENJADI MILIKI BERSAMA adalah tidak FAIR! Mari kita rubah dengan mengajarkan KONSEP KEPEMILIKAN pribadi dan ini sangat jauh berbeda dengan KONSEP MILIK BERSAMA.  Tentu saja tanpa menghilangkan masih ada barang-barang di rumah yang menjadi milik ‘public’ sehingga semua orang termasuk anak kita juag boleh menggunakannya.

Dengan diajarkan konsep kepemilikan anak-anak belajar untuk menghargai privasi orang lain. kecuali, benar-benar barang itu memang milik umum yang tidak ditujukan untuk satu orang anak (televisi, kursi, dll)

Saat seorang ayah memberikan satu mainan sama si kakak, maka totally barang itu sekarang milik Kakak bukan milik ayah lagi. Demikian juga saat ibu memberikan satu barang sudah dikasi ke adik, maka barang itu sekarang miliki adik, bukan milik ibu lagi.

Maka, setelah itu akan berlaku bahwa semua orang TIDAK BOLEH menggunakan barang orang lain tanpa izin. Termasuk barang saudaranya. Seorang kakak boleh menggunakan mainan, pinsil, atau apapun punya adik, jika dan hanya jika meminta izin pada adik dan adik mengizinkan.  Bahkan, saat saya MEMINJAM PINSIL ANAK SAYA, maka saya akan minta izin pada anak saya. Karean ketika saya memberikan pinsip anak saya, maka saya sudah meng-akadkan barang itu miliki anak saya.

Bisa saja bagi saya tanpa sepengetahuan anak saya untuk menggunakan pinsip itu tanpa izin anak saya. Lah wong uangnya dari saya. Tapi saya tidak memilih jalan itu. Saya ingin memuliakan anak saya. Saya ingin menghargai anak saya. Bahwa ia punya privasinya sendiri.

Pada kenyataannya, jika terjalin ikatan emosional positif orangtua anak, maka sampai saat ini rasanya sangat jarang anak-anak saya, insya Allah, untuk tidak mengizinkan saya menolak ‘peminjaman’ itu. Ini baru contoh sepele.

Tapi prinsipnya harus kita pegang: Seorang ayah atau seorang bunda yang telah memberikan mainan untuk si kakak, ketahuilah barang itu hatta menjadi miliki si kakak. karena itu orangtua tidak berhak mengatakan "BARANG ITU KAN DARI MAMA JUGA YANG BELIKAN, JADI BARANG ITU PUNYA MAMA JUGA!"

Saat orangtua memberikan barang sama si kakak, maka ia telah berakad memberikan barang punya kakak, maka sejak saat itulah barang itu miliki si kakak, bukan milik orangtua lagi. 
Ini berlaku juga untuk si Adik jika adik hendak menggunakan barang kakak, maka hanya boleh jika minta izin dan diizinkan oleh si kakak. 

Untuk menerapkannya tentu butuh ketegasan dan konistensi dari orangtua. Pada praktiknya orangtua akan diuji oleh: kemarahan, tangisan, rengekan, rayuan, bujukan dari seorang anak.  Ketegasan kita akan menentukan berhasilnya konsep ini atau tidak pada anak kita. 

Apa gunanya mengajarkan konsep kepemilikan di rumah kita untuk masa depan anak? Perhatikan, jika kita bisa mengaplikasinnya di rumah, dampaknya insya Allah akan luar biasa bagi anak kita. 

Lah dengan saudara sendiri saja ia tidak berani menggunakan barang saudaranya tanpa izin, apatah lagi kepada orang lain bukan? Ia takkan seenaknya menggunakan, memanfaatkan barang orang lain tanpa hak!

Insya Allah ini menjadi habbit yang berharga untuk masa depan anak di tengah hari orang begitu seenaknya untuk menjarah barang dari toko orang lain saat kerusuhan, menjarah 'pulsa' telepon kantor untuk kepentingan pribadi, menjarah uang perusahaan dengan memark-up biaya proyek atau biaya perjalanan dinas dan lain sebagainya. 

DELETE kamus kuno seorang kakak harus mengalah sama adik! Kebenaran harus ditentukan oleh kebenaran itu sendiri, bukan oleh usia. Bahwa seorang adik akan menangis karena si kakak tidak mengizinkan, itu sih biasa. Insya allah jika kita konsisten, nangisnya tidak berlangsung lama. Dan hanya menjadi bentuk kekecewaan sementara dari anak. Jika kita konsisten, anak akan tahu bahwa menangisnya tidak akan pernah menjadi pembenaran untuk mengambil barang yang bukan miliknya tanpa izin. 

Jika barang itu memang tidak diakadkan dari awal miliki satu orang anak, berarti memang barang ini MILIKI BERSAMA seperti televisi, komputer yang hanya satu, sofa, meja makan dll. Maka solusi untuk soal ini adalah buat SOP bersama. Misalnya "siapa yang duluan menggunakan maka ia berhak lebih dahulu menggunakan", maka yang belakangan tidak berhak untuk menyerobot. Atau SOP lain adalah bergantian.  Tentang ini saya telah membahasnya secara detail dalam tulisan saya yang lain “BERANTEM ITU BAIK” (silahkan baca tulisan saya tentang mengelola berantem anak di sini: http://www.facebook.com/notes/yuk-jadi-orangtua-shalih/berantem-itu-baik/433233745699)

Turunan dari SOP dan aturan tadi adalah seorang anak berhak dan boleh membela diri jika barangnya diambil tanpa izinya. Saat mainan adik diambil kakak, maka adik berhak untuk mengambilnya kembali jika tanpa izin adik dan juga sebaliknya. Orangtua boleh ikut intervensi jika ada kekuatan tidak seimbang (si kakak memiliki tenaga lebih kuat sehingga dapat mengintimidasi si adik untuk memaksanya memberikan).  Orangtua di sini boleh bertindak sebagai ‘penguasa’ yang memang mengatur jalannya ‘pemerintahan’ sehingga tidak ada ‘rakyatnya’ yang dirugikan oleh orang lain hanya karena tidak berdaya.

Mempertahankan hak adalah kewajiban. Karena itu juga saat seseorang didzalimi ia boleh membela diri atau bahkan untuk melawan! dan bukan malah sebaliknya: MENGAJARKAN MENGALAH!

Bahwa damai adalah baik itu sudah tidak usah diragukan, tapi damai tidaklah sama dengan kita diam dan mengalah saat orang lain merampas dan bertindak sewenang-wenang terhadap kita. Damai berarti kita mencari cara-cara sehingga semua pihak tidak ada yang dirugikan dengan cara-cara yang tidak destruktif. 

Apakah menerapkan konsep kepemilikan sama dengan mengajarkan anak pelit? Wah ini sangat berbeda dan memang beda judul. Perbedaan ini seperti antara timur dan barat. 

Mengajarkan konsep kepemilikan tidak berarti mengajarkan anak pelit. Mengajarkan anak untuk berbagi (kebalikan pelit) tentu adalah kewajiban kita orangtua. Tetapi mengajarkan berbagi tidaklah sama dengan mengajarkan anak untuk diam saat haknya diambil oleh orang lain. 

Anak harus difahamkan dulu tentang kepemilikan. Saat anak sudah faham tentang ini, barulah di waktu lain anak diajarkan berbagi. Maksudnya begini: misalnya saat seorang adik ngambil mainan punya kakak, seorang kakak berhak untuk tidak mengizinkan atau memberi pinjam mainan tersebut. Tanpa paksaan siapapun. Tetapi di waktu lain, di waktu yang lebih tenang, kita ajarkan bahwa berbuat baik, memberi, termasuk memberikan pinjaman adalah kebaikan. 

"Begini nak, kamu boleh makan kue kamu sendiri jika kamu suka, tapi jika kamu membagi kue kamu untuk saudara kamu dan saudara kamu senang, maka itu jauh lebih baik dan akan dinilai kebaikan oleh Allah". 

Penulis:
Pendiri pelatihan orangtua PSPA

Bagaimana Menanamkan Aqidah Pada Anak?


oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 9 Februari 2011 jam 19:32
Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | www.auladi.org
Email: inspirasipspa@yahoo.com

Akidah adalah fondasi yang kokoh bagi bangunan peradaban Islam. Tanpa akidah yang terpancang, kekuatan peradaban yang bangun akan goyah. Dan tugas menanamkan akidah adalah tugas setiap keluarga muslim kepada anak-anak mereka.

Sekolah bisa mengenalkan hal ini, tapi, penanam yang paling kuat dan lebih utama adalah orangtua. Peran orangtua yang memilih kedekatan emosional akan jauh lebih efektif dibandingkan siapapun (seharusnya).

Menanamkan akidah ke dalam pikiran bukan pekerjaan seketika. Butuh waktu dan kesabaran. Sebab, akidah adalah masalah yang abstrak. Sedangkan anak usia di bawah 7 tahun, berpikir dengan cara yang konkrit karena sel-sel syarafnya belum terkoneksi semuanya. Itu sebabnya kenapa Rasulullah memeritahkan untuk mengajarkan sholat pada anak usia 7 tahun. Sholat adalah bagian ibadah. Ibadah yang adalah salah satu implementasi aqidah bagi anak-anak memerlukan 'nalar' yang lebih sulit.

Tapi penanaman sejak awal, meski pada awalnya mereka belum mengerti, mereka akan mencernanya kelak. Paling penting adalah saat orangtua mengenalkan, membicarakan, menguatkan, menjadikan ini sebagai topik di rumah, secara berulang, insya Allah ini akan terinstall di alam bawah sadar anak. Jika menjadi informasi yang sudah tersimpan di alam bawah sadar, insya Allah sampai anak ini mati tidak mudah hilang dalam pikirannya.

Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Kalimat “Saya ber-i’tiqad begini” maksudnya: saya mengikat hati terhadap hal tersebut. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. SedangkanAqidah Secara Syara’ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.

Dalam istilah kekinian, aqidah sering dikaitkan dengan kata ‘spiritual’.  Menurut Oxford English Dictionary, kata spiritual diartikan persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi fisik, perasaan atau pernyataan jiwa, Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah laku seseorang. 

Boleh tak setuju, dengan demikian bagi saya, spiritualitas yang shahih adalah spiritualitas yang ‘content’ nya adalah berkaitan dengan keyakinan-keyakinan aqidah ini.

Sebenarnya, anak-anak sendiri secara fitrah adalah makhluk spiritual. Secara naluriah mereka memiliki apa yang banyak orang dewasa 'kehilangan' dan setelah (maaf) mendekati sisa usia, mereka baru mencarinya kembali. Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri dan nilai hidup anak.

Spiritualitas memberi makna pada kehidupan. Spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita; sesuatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan dengan sumber keberadaan kita.

Saat anak memulai kehidupan dengan rasa takjub bawaan tentang dunia mereka, maka mereka memiliki bawaan spiritualitas. Kita, sebagai orangtua, dapat memupuk sifat bawaan yang berharga ini dengan perkataan, tindakan dan perhatian kita pada anak. Dimana ada ketakjuban, di situ ada spiritualitas. Hal-hal biasa menjadi luar biasa jika kita menjalaninya sebagai yang bermakna.

Beberapa contoh untuk mengenalkan ini pada anak antara lain soal aqidah dengan rujukan Al-Qur’an Annisa : 136 bunyinya seperti ini

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Kita bisa implementasikan misalnya seperti beberapa contoh berikut ini:

“Papa mau tanya: telur sama ayam duluan hadir siapa?” Biar anak-anak menjawab, berpendapat. Biarkan mereka ‘berpetualang’ dengan pikirannya sendiri  dan mengungkapkan pikirannya sendiri. Meski, mungkin kita tidak menyetujuinya.

“Telur keluar dari ayam kan anakku? Lalu ayam keluar dari mana? Dari telur kan? Nah kalo terus ditarik ke ujung.... pasti ada yang awalnya. Kita tidak tahu pasti siapa yang paling awalnya, tapi pasti sebagaimana telur dan ayam pasti hidup kita ada awalnya.”

“Sebelum kamu lahir, Kamu ada di rahim mama, mama dan papa lahirnya juga melalui rahim neneknya kamu. Lalu siapa yang melahirkan nenek? Siapa yang melahirkan nenek dari nenek dari nenek dari nenek? Panjaaaaaang banget, siapa yang hadir duluan ke dunia? “

“Adam Papa. Tapi Adam kan laki-laki, bukan ibu-ibu”.

“Betul, adam laki-laki tapi Rasulullah berkata, Adam lah yang diciptakan duluan: ‘Sesunguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu (diciptakan) dari tanah.’ (HR Bukhari)”

“Tapi apakah Adam atau istrinya Hawa pasti ada yang menciptakan kan? Tidak mungkin sesuatu hadir tanpa ada yang mencipta! Kecuali Maha Pencipta itu sendiri”.  (Iman Kepada Allah: Al-Khalik).

“Setiap akibat pasti membutuhkan sebab. Ada panas karena ada api.  Ada sinar karena ada cahaya, dll. Demikian juga alamat semesta, gunung, hutan, sungai, lembah adalah akibat, jejak.”

“Setiap akibat berasal dari sebab, setiap jejak berasal dari pembuat jejak.   Ada Penyebab yang sangat besar kuasa-Nya yang mengadakan alam semesta.”

Contoh pembicaraan di atas adalah salah satu saja dari sekian banyak ‘topik’ untuk memancing anak untuk bertanya dan penasaran tentang Allah. Ini sangat bagus untuk terus menghadirkan Allah pada kehidupan anak.

Mungkin, pada awalnya sebagian pertanyaan itu jika tak terbiasa akan menyulitkan Anda. Mungkin anak akan bertanya tentang “Mengapa Allah menciptakan neraka? Mengapa Allah tidak punya ibu dan tidak punya bapak? Mengapa Allah tidak kelihatan? Kita berdoa kepada Allah, bagaimana Allah mendengar kita? Katanya kalau minta sama Allah, tapi mengapa Allah tidak mengabulkan semua doa manusia? Allah punya telinga tidak? Allah punya mata tidak? Allah bisa dipanggil ke rumah kita tidak?”

Mungkin ratusan pertanyaan lainnya yang akan menjadi ‘petualangan’ intelektual ,dan sekaligus, jika kita bisa menghubungkannya ke dalam pengalaman sehari-hari dan kejadian-kejadian bermakna setiap hari akan menjadi pengalaman spiritual tersendiri bagi anak. Ketika anak merasakan gelap, merasakan takut, sedih, merasakan sendiri, merasakan kedinginan, kepanasan, dalam keadaan hujan, terik, siang dan malam, Allah sungguh bisa dihadirkan dalam pikiran anak dengan bermakna.  

Ketika anak bertanya tentang Allah, kunci selanjutnya adalah ajak anak untuk mengenal Tuhan-Nya dengan nama-nama Allah yang baik seperti yang termaktub dalam asmaul husna. Kaitkan selalu asmul husna itu dalam kehidupan sehari-hari. Kenalkan asmaul husna pada anak, bukan untuk dihafal tapi untuk dimaknai satu-satu namanya yang kemudian dapat diamalkan dalam keseharian. Misalnya, Allah punya nama Maha Rahman, maka Allah menyukai kita manusia berbuat rahman, dan seterusnya.

Lalu Allah selain menciptakan manusia juga menciptakan alam semesta dan kehidupan. Untuk mengatur ini semua Allah mempunya petugas-petugas untuk mengawasinya yakni para malaikat (Iman kepada malaikat).

Agar manusia hidupnya teratur, maka semua manusia membutuhkan aturan hidup atau pedoman hidup. “Jika kamu pergi ke sebuah tempat yang asing, maka kamu sangat membutuhkan peta. Peta membantu kita untuk dapat menemukan jalan dengan lebih baik. Bisa saja kamu pergi tanpa peta, tapi bersiaplah kadang-kadang kita tersesat. Kadang kita ketemu, tapi ketika ada jalan selalu lebih mudah daripada hanya sekadar  coba-coba.”

“Demikian juga hidup kita. Agar hidup kita bahagia dan terarah, maka Allah menurunkan kitab-kitab suci yang akan menjadi peta petunjuk kita kepada “harta karun” kehidupan”.  Kitab-kitab itu ada Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an”

“Kok nggak satu saja kitabnya?”

“Setiap jaman dan kaum dikasi satu kitab, lalu kita yang datang belakangan menjelaskan yang duluan”

“Al-Qur’an terakhir, berarti Al-Qur’an berarti mengatur semuanya Mama?”

“Al-Qur’an memberi panduan yang umum dan mendasar anakku”

“Kalau tidak semuanya, berarti Al-Qur’an tidak lengkap dong Ma!”

“Al-Qur’an memberi peta umum, nak. Selain peta umum, Al-Qur’an juga mendapat tambahan penjelasan dari peta lainnya, yakni Hadits yang dikeluarkan melalui jalan utusan Allah: apa yang kita sebut Rasulullah”(Iman Kepada Rasulullah).

Agar ajaran dalam kitab ini dapat diterima dan difahami manusia lebih baik, maka Allah mengirimkan utusan-utusan-Nya atau kita sebut Rasul-Rasul-Nya. Rasul itu manusia biasa seperti kita.

“Kenapa tidak malaikat saja yang jadi Rasul”

“Sepertinya agar kita lebih mudah dan tidak kaget menerima ajaran dari Allah. Rasulullah saja waktu ketemu malaikat kaget banget lho...apalagi kita manusia biasa. Mungkin Allah ingin agar lebih mudah mengerti dan tidak kaget. Wallahu’lam. Tapi Allah mentakdirkan seperti  itu pasti untuk kepentingan kita sendiri!”

“Takdir itu apa Ma?”

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`: 79)

“Takdir adalah ketetapan-ketetapan azali dari Allah sampai hari kiamat. Kalau mau sengsara, berbuatlah buruk. Kalau mau bahagia, berbuatlah baik. Itu takdir Allah. Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya. (Qodlo dan Qodar).”


“Terus kenapa kita harus berbuat baik dan kenapa tidak boleh berbuat buruk”

“Allah memerintahkan perbuatan baik, untuk manusia sendiri dan Allah melarang manusia untuk kepentingan manusia sendiri. Agar hidup kita bahagia. Karena itu Allah ngasih aturan. Bisa saja manusia membuat aturan, tapi sebaik-baiknya aturan adalah yang dari menciptakan manusia bukan”

“Ingat, Allah tidak pernah membutuhkan manusia. Allah memerintahkan itu semua untuk menguji kita dan untuk kepentingan kita sendiri. Jika mama tidak sholat, Allah sama sekali tidak rugi! Allah tidak rugi jika ayah tidak berzakat, shodaqoh dll. Allah tidak rugi jika kita shaum, dll. Allah pun tidak rugi jika manusia berbohong, memfitnah, berbuat munkar dan keji.  “

“Tapi ada tuh manusia yang berbuat baik tapi kok hidup miskin Pa!”

“Ada juga yang kaya tapi sengsara kan?”

“Sengsara atau bahagia bukan di lihat dari rumahnya, kendaraannya anakku! Tapi dari keyakinannya akan Allah mentaati perintah Allah tadi: melakukan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Insya Allah jika kita melakukannya kita akan bahagia”

“Tapi kebahagian sebenarnya adalah setelah kita mati. Karena  apa yang kita dapat hari ini: mobil, motor, tanah yang luas, belum tentu jadi bekal untuk mati! Karena ada awal maka akan ada akhir. Jika ada hidup pasti ada mati.”

“Suatu saat alam semesta ini akan hancur!”

“Ngeri dong!”

“Semua manusia akan mati!”

“Jadi kita berpisah Pa Ma?”

“Iya”

“Aku sama siapa?”

Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis ini jika muncul dalam pikiran anak akan sangat bagus dan kemudian dapat melatih ‘sensitivitas” anak terhadap pemaknaan kehidupan. Tentu, orangtua harus siap dengan segala pertanyaan yang ‘seru’ ini.  Selamat mengenalkannya pada anak!”