Kamis, 24 November 2011

Bagaimana Menanamkan Aqidah Pada Anak?


oleh Yuk-Jadi Orangtua Shalih pada 9 Februari 2011 jam 19:32
Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | www.auladi.org
Email: inspirasipspa@yahoo.com

Akidah adalah fondasi yang kokoh bagi bangunan peradaban Islam. Tanpa akidah yang terpancang, kekuatan peradaban yang bangun akan goyah. Dan tugas menanamkan akidah adalah tugas setiap keluarga muslim kepada anak-anak mereka.

Sekolah bisa mengenalkan hal ini, tapi, penanam yang paling kuat dan lebih utama adalah orangtua. Peran orangtua yang memilih kedekatan emosional akan jauh lebih efektif dibandingkan siapapun (seharusnya).

Menanamkan akidah ke dalam pikiran bukan pekerjaan seketika. Butuh waktu dan kesabaran. Sebab, akidah adalah masalah yang abstrak. Sedangkan anak usia di bawah 7 tahun, berpikir dengan cara yang konkrit karena sel-sel syarafnya belum terkoneksi semuanya. Itu sebabnya kenapa Rasulullah memeritahkan untuk mengajarkan sholat pada anak usia 7 tahun. Sholat adalah bagian ibadah. Ibadah yang adalah salah satu implementasi aqidah bagi anak-anak memerlukan 'nalar' yang lebih sulit.

Tapi penanaman sejak awal, meski pada awalnya mereka belum mengerti, mereka akan mencernanya kelak. Paling penting adalah saat orangtua mengenalkan, membicarakan, menguatkan, menjadikan ini sebagai topik di rumah, secara berulang, insya Allah ini akan terinstall di alam bawah sadar anak. Jika menjadi informasi yang sudah tersimpan di alam bawah sadar, insya Allah sampai anak ini mati tidak mudah hilang dalam pikirannya.

Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Kalimat “Saya ber-i’tiqad begini” maksudnya: saya mengikat hati terhadap hal tersebut. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. SedangkanAqidah Secara Syara’ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.

Dalam istilah kekinian, aqidah sering dikaitkan dengan kata ‘spiritual’.  Menurut Oxford English Dictionary, kata spiritual diartikan persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi fisik, perasaan atau pernyataan jiwa, Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah laku seseorang. 

Boleh tak setuju, dengan demikian bagi saya, spiritualitas yang shahih adalah spiritualitas yang ‘content’ nya adalah berkaitan dengan keyakinan-keyakinan aqidah ini.

Sebenarnya, anak-anak sendiri secara fitrah adalah makhluk spiritual. Secara naluriah mereka memiliki apa yang banyak orang dewasa 'kehilangan' dan setelah (maaf) mendekati sisa usia, mereka baru mencarinya kembali. Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri dan nilai hidup anak.

Spiritualitas memberi makna pada kehidupan. Spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita; sesuatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan dengan sumber keberadaan kita.

Saat anak memulai kehidupan dengan rasa takjub bawaan tentang dunia mereka, maka mereka memiliki bawaan spiritualitas. Kita, sebagai orangtua, dapat memupuk sifat bawaan yang berharga ini dengan perkataan, tindakan dan perhatian kita pada anak. Dimana ada ketakjuban, di situ ada spiritualitas. Hal-hal biasa menjadi luar biasa jika kita menjalaninya sebagai yang bermakna.

Beberapa contoh untuk mengenalkan ini pada anak antara lain soal aqidah dengan rujukan Al-Qur’an Annisa : 136 bunyinya seperti ini

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Kita bisa implementasikan misalnya seperti beberapa contoh berikut ini:

“Papa mau tanya: telur sama ayam duluan hadir siapa?” Biar anak-anak menjawab, berpendapat. Biarkan mereka ‘berpetualang’ dengan pikirannya sendiri  dan mengungkapkan pikirannya sendiri. Meski, mungkin kita tidak menyetujuinya.

“Telur keluar dari ayam kan anakku? Lalu ayam keluar dari mana? Dari telur kan? Nah kalo terus ditarik ke ujung.... pasti ada yang awalnya. Kita tidak tahu pasti siapa yang paling awalnya, tapi pasti sebagaimana telur dan ayam pasti hidup kita ada awalnya.”

“Sebelum kamu lahir, Kamu ada di rahim mama, mama dan papa lahirnya juga melalui rahim neneknya kamu. Lalu siapa yang melahirkan nenek? Siapa yang melahirkan nenek dari nenek dari nenek dari nenek? Panjaaaaaang banget, siapa yang hadir duluan ke dunia? “

“Adam Papa. Tapi Adam kan laki-laki, bukan ibu-ibu”.

“Betul, adam laki-laki tapi Rasulullah berkata, Adam lah yang diciptakan duluan: ‘Sesunguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu (diciptakan) dari tanah.’ (HR Bukhari)”

“Tapi apakah Adam atau istrinya Hawa pasti ada yang menciptakan kan? Tidak mungkin sesuatu hadir tanpa ada yang mencipta! Kecuali Maha Pencipta itu sendiri”.  (Iman Kepada Allah: Al-Khalik).

“Setiap akibat pasti membutuhkan sebab. Ada panas karena ada api.  Ada sinar karena ada cahaya, dll. Demikian juga alamat semesta, gunung, hutan, sungai, lembah adalah akibat, jejak.”

“Setiap akibat berasal dari sebab, setiap jejak berasal dari pembuat jejak.   Ada Penyebab yang sangat besar kuasa-Nya yang mengadakan alam semesta.”

Contoh pembicaraan di atas adalah salah satu saja dari sekian banyak ‘topik’ untuk memancing anak untuk bertanya dan penasaran tentang Allah. Ini sangat bagus untuk terus menghadirkan Allah pada kehidupan anak.

Mungkin, pada awalnya sebagian pertanyaan itu jika tak terbiasa akan menyulitkan Anda. Mungkin anak akan bertanya tentang “Mengapa Allah menciptakan neraka? Mengapa Allah tidak punya ibu dan tidak punya bapak? Mengapa Allah tidak kelihatan? Kita berdoa kepada Allah, bagaimana Allah mendengar kita? Katanya kalau minta sama Allah, tapi mengapa Allah tidak mengabulkan semua doa manusia? Allah punya telinga tidak? Allah punya mata tidak? Allah bisa dipanggil ke rumah kita tidak?”

Mungkin ratusan pertanyaan lainnya yang akan menjadi ‘petualangan’ intelektual ,dan sekaligus, jika kita bisa menghubungkannya ke dalam pengalaman sehari-hari dan kejadian-kejadian bermakna setiap hari akan menjadi pengalaman spiritual tersendiri bagi anak. Ketika anak merasakan gelap, merasakan takut, sedih, merasakan sendiri, merasakan kedinginan, kepanasan, dalam keadaan hujan, terik, siang dan malam, Allah sungguh bisa dihadirkan dalam pikiran anak dengan bermakna.  

Ketika anak bertanya tentang Allah, kunci selanjutnya adalah ajak anak untuk mengenal Tuhan-Nya dengan nama-nama Allah yang baik seperti yang termaktub dalam asmaul husna. Kaitkan selalu asmul husna itu dalam kehidupan sehari-hari. Kenalkan asmaul husna pada anak, bukan untuk dihafal tapi untuk dimaknai satu-satu namanya yang kemudian dapat diamalkan dalam keseharian. Misalnya, Allah punya nama Maha Rahman, maka Allah menyukai kita manusia berbuat rahman, dan seterusnya.

Lalu Allah selain menciptakan manusia juga menciptakan alam semesta dan kehidupan. Untuk mengatur ini semua Allah mempunya petugas-petugas untuk mengawasinya yakni para malaikat (Iman kepada malaikat).

Agar manusia hidupnya teratur, maka semua manusia membutuhkan aturan hidup atau pedoman hidup. “Jika kamu pergi ke sebuah tempat yang asing, maka kamu sangat membutuhkan peta. Peta membantu kita untuk dapat menemukan jalan dengan lebih baik. Bisa saja kamu pergi tanpa peta, tapi bersiaplah kadang-kadang kita tersesat. Kadang kita ketemu, tapi ketika ada jalan selalu lebih mudah daripada hanya sekadar  coba-coba.”

“Demikian juga hidup kita. Agar hidup kita bahagia dan terarah, maka Allah menurunkan kitab-kitab suci yang akan menjadi peta petunjuk kita kepada “harta karun” kehidupan”.  Kitab-kitab itu ada Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an”

“Kok nggak satu saja kitabnya?”

“Setiap jaman dan kaum dikasi satu kitab, lalu kita yang datang belakangan menjelaskan yang duluan”

“Al-Qur’an terakhir, berarti Al-Qur’an berarti mengatur semuanya Mama?”

“Al-Qur’an memberi panduan yang umum dan mendasar anakku”

“Kalau tidak semuanya, berarti Al-Qur’an tidak lengkap dong Ma!”

“Al-Qur’an memberi peta umum, nak. Selain peta umum, Al-Qur’an juga mendapat tambahan penjelasan dari peta lainnya, yakni Hadits yang dikeluarkan melalui jalan utusan Allah: apa yang kita sebut Rasulullah”(Iman Kepada Rasulullah).

Agar ajaran dalam kitab ini dapat diterima dan difahami manusia lebih baik, maka Allah mengirimkan utusan-utusan-Nya atau kita sebut Rasul-Rasul-Nya. Rasul itu manusia biasa seperti kita.

“Kenapa tidak malaikat saja yang jadi Rasul”

“Sepertinya agar kita lebih mudah dan tidak kaget menerima ajaran dari Allah. Rasulullah saja waktu ketemu malaikat kaget banget lho...apalagi kita manusia biasa. Mungkin Allah ingin agar lebih mudah mengerti dan tidak kaget. Wallahu’lam. Tapi Allah mentakdirkan seperti  itu pasti untuk kepentingan kita sendiri!”

“Takdir itu apa Ma?”

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`: 79)

“Takdir adalah ketetapan-ketetapan azali dari Allah sampai hari kiamat. Kalau mau sengsara, berbuatlah buruk. Kalau mau bahagia, berbuatlah baik. Itu takdir Allah. Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya. (Qodlo dan Qodar).”


“Terus kenapa kita harus berbuat baik dan kenapa tidak boleh berbuat buruk”

“Allah memerintahkan perbuatan baik, untuk manusia sendiri dan Allah melarang manusia untuk kepentingan manusia sendiri. Agar hidup kita bahagia. Karena itu Allah ngasih aturan. Bisa saja manusia membuat aturan, tapi sebaik-baiknya aturan adalah yang dari menciptakan manusia bukan”

“Ingat, Allah tidak pernah membutuhkan manusia. Allah memerintahkan itu semua untuk menguji kita dan untuk kepentingan kita sendiri. Jika mama tidak sholat, Allah sama sekali tidak rugi! Allah tidak rugi jika ayah tidak berzakat, shodaqoh dll. Allah tidak rugi jika kita shaum, dll. Allah pun tidak rugi jika manusia berbohong, memfitnah, berbuat munkar dan keji.  “

“Tapi ada tuh manusia yang berbuat baik tapi kok hidup miskin Pa!”

“Ada juga yang kaya tapi sengsara kan?”

“Sengsara atau bahagia bukan di lihat dari rumahnya, kendaraannya anakku! Tapi dari keyakinannya akan Allah mentaati perintah Allah tadi: melakukan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Insya Allah jika kita melakukannya kita akan bahagia”

“Tapi kebahagian sebenarnya adalah setelah kita mati. Karena  apa yang kita dapat hari ini: mobil, motor, tanah yang luas, belum tentu jadi bekal untuk mati! Karena ada awal maka akan ada akhir. Jika ada hidup pasti ada mati.”

“Suatu saat alam semesta ini akan hancur!”

“Ngeri dong!”

“Semua manusia akan mati!”

“Jadi kita berpisah Pa Ma?”

“Iya”

“Aku sama siapa?”

Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis ini jika muncul dalam pikiran anak akan sangat bagus dan kemudian dapat melatih ‘sensitivitas” anak terhadap pemaknaan kehidupan. Tentu, orangtua harus siap dengan segala pertanyaan yang ‘seru’ ini.  Selamat mengenalkannya pada anak!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar